Sejarah perkembangan Hukum Islam


 dalam kaitannya dengan
“Fenomena Sufisme di Tengah Masyarakat Posmodern:
 Sebuah Tantangan Bagi Wacana Spiritualitas”

 
BAGIAN I

Sejarah Perkembangan Hukum Islam ;
PERKEMBANGAN HUKUM  ISLAM DI INDONESIA
Perkembangan/pertumbuhan hukum Islam di Indonesia sejak mulai masuknya agama islam sampai menjadi salah satu sistem hukum yang banyak penganutnya, dapat kita bagi pembahasannya dalam tiga periode, yaitu :
-Masa kedatangan Islam di Indonesia;
-Masa pemerintahan Hindia-Belanda;
-Masa sesudah kemerdekaan.

Masa kedatangan Islam di Indonesia
Berbicara tentang perkembangan Hukum  Islam di Indonesia, kita tidak dapat melepaskan diri dari persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia. Hal ini penting untuk dikemukakan agar kita dapat memperoleh gambaran betapa bangsa kita menyambut agama ini sampai menjadi agama yang terbesar penganutnya.
Persoalan kapan dan bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia ini terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama, yang dipelopori oleh golongan Orientalis, berpendapat bahwa agama islam masuk di Indonesia pada permulaan abad ke XIII Masehi yang dibawa oleh orang-orang Persia ke Gunajat India, kemudian pedagang-pedagang Gunajat India ini membawanya ke tanah air kita. Salah satu di antara mereka adalah Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching Of Islam, mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia bukan langsung dari tanah Arab, tetapi dari Persia melalui Gujarat India ke Indonesia. Sebagai bukti dikemukakan, bahwa bentuk, bahan dan tulisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, mirip dengan Islam di Gujarat daripada Islam di tanah Arab sendiri.
Pendapat kedua, dipelopori oleh cendikiawan Islam di Indonesia, antara lain Buya Hamka (t.t. IV : 22), nerpendapat bahwa agama islam masuk ke Indonesia dibawa langsung dari negeri Arab oleh bangsa Arab sendiri pada abad ke VII M. Untuk memperkuat pendapatnya itu dikemukakan dua fakta sejarah sebagai berikut :
a.       Disekitar tahun 675 M. telah datang utusan dari arab ke pulau Jawa dan melaway ke negri Kalingga dan pulang kembali setelah memperhatikan betapa besarnya pengaruh agama Hindu di Negara itu, sehingga agama islam tidak boleh dijalankan dengan kekerasan, melainkan sesuai dengan agama islam itu sendiri yang menghendaki tidak ada paksaan dalam agam;
b.      Bahwa pada tahun 684 M, telah ada Loji (kantor perwakilan dagang) orang arab di Sumatra barat (daerah Minangkabau).
Kedua pendapat tersebut di atas masing-masing mengemukakan alasan-alasannya yang kuat sehingga yang mana diantara keduanya yang benara terserah pada penilaian kita masing-masing. Setelah kita ketahui kapan dan bagaimana caranya agama Islam masuk dan berkembang di Indonesia, sekarang akan dibicarakan bagaimana proses pengislaman selanjutnya setelah agama Islam masuk ke Indonesia.
Sejarah telah membuktikan, bahwa mulanya proses pengislaman di Indonesia berlangsung tanpa disadari, tiba-tiba mengalami perkembangan yang pesat dan cepat walaupun harus di akui pada waktu itu memang sudah ada isme-isme yang menguasai alam pikiran bangsa Indonesia, misalnya isme tradisional dan agama Hindu.
Perkembangan yang sangat pesat dan dinamis ini, ditunjang oleh beberapa faktor yang menentukan, antara lain :
a.       Adanya sifat demokrasi agama Islam itu sendiri, dimana tidak mengenal perbedaan antara rakyat biasa dan kaum bangsawan, tegasnya tidak mengenal kasta-kasta dan kelas-kelas dalam masyarakat;
b.      Prosedur untuk menjadi pemeluk agama Islam tidak berbelit-belit atau tidak begitu sulit;
c.       Agama Islam gampang menyesuaikan diri/berasimilasi dengan keadaan-keadaan setempat.
d.      Pribadi dan akhlak orang-orang Islam sangat tinggi, sehingga dengan gampang saja mengadakan hubungan antara satu dengan yang lainnya, yang menyebabkan terjadinya satu ikatan yang timbal balik yang sangat mengutungkan terutama sekali dilapangan perdagangan.
Dalam bidang perdagangan, Islam berkembang melalui beberapa macam cara antara lain dengan mengadakan kontak antara lain dengan mengadakan kontak secara pribadi dengan raja-raja yang berkuasa termasuk keluarga raja-raja disertai dengan pemberian hadiah-hadiah istimewa sehingga para raja itu tertarik kepada agama Islam. Masuknya para raja itu sebagai pemeluk agama Islam merupakan eksponen utama didalam menarik rakyatnya menjadi pemeluk agama Islam. Selanjutnya rakyat biasa yang telah menganut agama Islam mengadakan pula hubungan dengan daerah-daerah lainnya yang biasanya bertindak sebagai juru dakwa sehingga agama Islam menyebar hingga ke pelosok pedesaan.
Di pulau Jawa, agama Islam berkembang dan menyebar melalui dua tempat, yaitu Sumatera utara (Aceh) dan pesisir pantai utara Jawa tengah dan Jawa timur (Rembang, Tuban, dan Gresik). Dari Sumatera utara, Islam menyebar ke pedalaman Minangkabau (Sumatera barat) sedang di Sumatera selatan agama islam berkembang melalui Banten.

Hukum Islam terdiri dari tiga 3(tiga) aspek yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Pembedaan antara aspek yang satu dengan yang lain diadakan hanya untuk memudahkan pendekatan masalahnya. Ketiga aspek agama Islam yang dimaksud adalah : pertama, aspek Aqidah atau kepercayaan; kedua, aspek Syariatnya (aspek hukum) dan ketiga, aspek Tasawuf atau Filsafat.
Di antara ketiga aspek itu, yang paling penting adalah aspek Syariatnya/aspek hukumnya, oleh karna aspek hukum tersebut merupakan jiwa agama Islam, salah satu manifestasi dari cara hidup Islam, inti dari agama Islam itu sendiri. Kata Schacht (Harjono, 1968 : 47).

Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda mulai berkuasa di tanah air kita, hukum islam telah berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, disitu pengaruh Islam (termasuk hukumnya) sangat menonjol, bahkan menurut sejarah jauh sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia, hukum Islam pernah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di beberapa kerajaan Islam di Indonesia.
Di samping hukum Islam, hukum adapt sebagai sistem hukum juga berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang berdasarkan alam fikiran bangsa Indonesia. Antara kedua sistem hukum itu dalam perkembangannya saling pengaruh mempengaruhi, seolah-olah di antara keduanya terjadi sinkronisasi. Mungkin berdasarkan  kenyataan inilah, sehingga timbul anggapan dari pemerintah Hindia Belanda yang memandang Hukum asli dari bangsa Indonesia adalah terdiri dari hukum agama.
Anggapan seperti ini mempengaruhi pula pemerintah inggris yang pernah juga berkuasa lebih kurang 5 tahun (1811-1816) dibawah pimpinan Yhomas Stfford Raffles, yang berpendapat bahwa hukum adat yang berlaku bagi bangsa Indonesia berasal dari hukum agama, sehingga dalam proses peradilan, jaksa dan penghulu keduanya bertugas memberi advis menurut menurut hukum adapt yang disangkanya identik dengan hukum agama.
Setelah Belanda kembali menjajah Indonesia (sesudah penjajahan Inggris), maka berdasarkan anggapan tersebut lahirlah teori Receptio In Complexu oleh Mr. L.W.C van Den Berg, penasehat hukum Islam pemerintah Hindia Belanda yang pada dasarnya berbunyi (Soekanto, 1981 : 66), Resepsi hukum Hindu oleh kaum Hindu, hukum Nasrani oleh kaum Nasrani dan hukum Islam oleh kaum Islam. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan,menurut ajaran ini hukum pribumi mengikuti hukum agamanya oleh karma adalah konsekuensi baginya, bahwa memeluk suatu agama harus pula mentaati hukum-hukumnya dengan setia. (Tentang teori ini lihat juga pembahasannya pada waktu membicarakan tentang bidang-bidang/lapangan-lapangan hukum Islam).
Sebagai reaksi dari teori ini maka keluar pula teori Receptie, dari C. Snouck Hurgronje yang beranggapan, bahwa berlakunya hukum islam hanya sekadar setelah diresepsi oleh hukum adat. Jelas sekali, bahwa teori receptie ini bertujuan membatasi berlakunya hukum Islam serta menghalangi perkembangannya di Indonesia.
Dengan berdasarkan teori ini pemerintah Hindia belanda berhasil memperkecil peranan hukum Islam dalam hukum positif, sehingga hanya terbatas pada hukum perkawinan, (khususnya syarat-syarat sahnya perkawinan) dan perceraian serta mengenai badan hukum yang berbentuk wakaf; disana-sini mungkin juga tentang Hibah, Wasiat dan Shadaqah.
Sebagai konsekuensi diakuinya hukum Islam dalam peraturan perundangan Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam beberapa pasal RR dan IS, maka di lapangan peradilan di samping peradilan gubermen, peradilan adapt dan peradilan swapraja, dikenal pula peradilan Islam yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara menurut hukum Islam secara sangat terbatas.

Masa sesudah Kemerdekaan
Sesudah proklamasi kemerdekaan, perkembangan hukum Islam lebih maju lagi dibanding dengan keadaannya pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu.
Sebagai salah satu wujud dari kemerdekaan beragama sebagaimana tercantum pada pasal 29 ayat (2) tersebut, maka pada tanggal 3 januari 1946, dibentuklah Departemen Agama yang betugas mengurus berbagai bidang yang menyangkut masalah-masalah keagamaan (termasuk hukum agama) di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa bidang hukum Islam telah dinyatakan diterima dalam hukum Nasional sebagai hukum positif,seperti antara lain, Hukum Perkawinan dalam UU No. 1/1974, tentang Perkawinan, Hukum Perwakafan melalui pasal 49 ayat 3 Undang-undang Pokok Agraria dan PP No. 28/1977, Tentang Perwakafan Tanah Milik dan lain-lain.
Pembentukan berbagai pesantren, madrasah-madrasah Islamiyah dan organisasi-organisasi yang bernafaskan Islam di seluruh tanah air turut memberi warna terhadap perkembangan Islam di Indonesia.







BAGIAN II
Fenomena Sufisme di Tengah Masyarakat Posmodern:  Sebuah Tantangan Bagi Wacana Spiritualitas
Salah satu fenomena menarik yang mewarnai perkembangan masyarakat kontemporer khususnya di kota-kota besar seperti Makassar adalah marak tumbuhnya berbagai bentuk wacana spiritual berupa kelas-kelas pengikut tasawuf atau  sufi. Kelas-kelas ini yang dominan diikuti masyarakat golongan menengah atas, dengan bayaran cukup tinggi menawarkan berbagai bentuk dan metode pencerahan jiwa, di tengah-tengah deru kehidupan perkotaan, yang sarat dengan berbagai patologi kejiwaan.  Kehadiran kelas-kelas sufi ini merupakan sesuatu yang menjanjikan sekaligus mengkhawatirkan, bila dikaitkan dengan keberadaannya dalam lingkungan masyarakat seperti kota Makassar yang kian dipengaruhi kuat oleh budaya posmodern (postmodern culture).
 Kekhawatiran itu muncul, disebabkan budaya posmodern sering dituduh sebagai budaya yang sarat paradoks dan kontradiksi diri (self contradiction), yang dapat menggiring pada paradoks sufisme itu sendiri. Di satu pihak, wacana sufisme dapat menjadi semacam penjaga gawang kesucian jiwa di tengah masyarakat yang disarati gejolak pelepasan hasrat tak berbatas (unlimited desire); di pihak lain, sufisme sendiri dikhawatirkan dapat terperangkap dalam mekanisme mesin-mesin hasrat masyarakat posmodern, bila rayuannya tidak dapat dibendung. Memperbincangkan sufisme dalam kancah masyarakat posmodern pada dasarnya memperbincangkan dua arah .perjalanan spiritual yang bertentangan satu sama lain. Perbedaan arah spiritual tersebut, disebabkan perbedaan mendasar antara sufisme dan posmodernisme dalam melihat peranan hasrat dalam masyarakat. Hakikat sufisme adalah pengendalian hasrat; sebaliknya hakikat posmodernisme adalah pembebasan hasrat (desiring liberation). Yang satu mengekang hasrat, yang lain membebaskannya; yang satu membentengi libido, yang lain melepaskannya; yang satu mengutamakan perenungan, yang lain merayakan kepanikan (hysteria); yang satu menjunjung tinggi kedalaman, yang lain memuja permukaan (surface); yang satu mengutamakan kesederhanaan, yang lain memuja ekstremitas (hyper); yang satu menjauhkan diri dari materi, yang lain memuja pemilikan materi (consumerism).
Membicarakan sufisme dalam masyarakat posmodern layaknya membicarakan sebuah cahaya di tengah lorong gelap kehidupan hasrat manusia; sebuah mutiara di tengah padang tandus imoralitas; sebuah senyuman di tengah hiruk-pikuk ketidakacuhan  individualisme, dan hedonisme yang melanda masyarakat posmodern. Keberadaan sufisme di tengah masyarakat posmodern, dengan demikian, meninggalkan berbagai pertanyaan untuk dijawab: masih adakah tempat bagi kezuhudan, kefakiran, serta kesederhanaan di tengah-tengah zaman yang disarati hutan rimba materialisme, pelepasan hasrat, kelimpahruahan, dan ekstremitas? Masih tersisakah ruang untuk merenung dan melakukan kontemplasi di tengah-tengah dunia yang berlari dengan kecepatan tinggi? Masih adakah tempat bagi spiritualitas di tengah-tengah dunia yang sangat bergantung pada materi (teknologi, fungsi, citra)? Dapatkah sufisme menjadi motor pencerahan dalam zaman yang disarati ketidakacuhan, pengingkaran, dan patologi sosial? Dapatkah sufisme memancarkan cahaya-nya dalam era yang apapun boleh dilakukan, dipertontonkan, diumbar ---anything goes! 

Sufisme: Wacana Pengendalian Mesin Hasrat  
Meskipun banyak konsep yang membangun sufisme, akan tetapi bila dikaitkan dengan keberadaannya dalam masyarakat posmodern, maka konsep hasrat (hawa) merupakan konsep yang sentral, yang berkaitan dengan konsep desire dalam wacana posmodernisme. Baik dalam tradisi sufisme maupun dalam wacana posmodernisme, hasrat dianggap sebagai penggerak utama kehidupan manusia (sosial, kultural, spiritual), yang menentukan realitas sosial. Akan tetapi, ada perbedaan sikap yang sangat mendasar soal kedudukan hasrat dan realitas sosial yang dibentuknya antara tradisi sufisme dan wacana posmodernisme.  Para sufi dengan tegas menganggap bahwa hakikat Realitas bersifat spiritual, karena segala sesuatu berasal dari Tuhan, yang berwujud spiritual :
 (1)Artinya, realitas merupakan perwujudan hasrat lebih tinggi, yang diarahkan kepada sifat-sifat ketuhanan. Sebaliknya, realitas yang terbentuk sebagai perwujudan hasrat-hasrat rendah (nafs), dianggap sebagai ilusi atau realitas palsu.  Meskipun istilah nafs mempunyai banyak makna esensi, jiwa yang menghidupkan, psikis, ruh, pikiran, kehidupan, hasrat, akan tetapi dalam terminologi sufi, istilah nafs secara implisit merujuk pada al-nafs al-amara, yaitu jiwa rendah yang dikendalikan sifat-sifat jahat.
(2) Dalam hal ini, perwujudan nafs yang paling rendah adalah pada dunia materi. Ketika seseorang dikuasai nafs-nya, maka kehidupannya akan dikuasai oleh sifat-sifat alam materi tersebut. Kehidupannya akan terpusat pada dunia benda, dengan segala irama perubahan dan pergantiannya, serta dengan segala sistem yang membentuknya (system of objects).  Kecenderungan nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya pemuasan diri sendiri, meskipun kepuasan tersebut tak akan pernah terpenuhi.
(3) Salah satu alasan mengapa hasrat tak pernah terpuaskan dan selalu mencari pelepasan-pelepasan baru, adalah disebabkan ia ingin selalu dipuja. Hasrat selalu menggiring manusia ke dalam apa yang dikatakan dalam terminologi psikoanalisis sebagai the culture of narcissism manusia yang selalu mencari ketenaran, popularitas, publisitas dirinya sendiri. Kaum sufi, sebaliknya, tidak mencari-cari ketenaran tersebut. Mereka menyembunyikan diri dalam jubah kerendah-hatian untuk mencapai kemuliaan. Mereka tidak ingin dimuliakan atau dikenal.
(4)  Nafs merupakan sumber dari segala tindakan jahat dan tercela; sumber dari pelanggaran etika. Berbagai bentuk kejahatan berkembang, ketika nafs mengikuti semua hasrat-hasratnya tanpa dapat dihalangi apapun: hukum, etika, adat, atau agama. Nafs justru menginginkan semua yang dilarang tersebut. Di sinilah letak sifat amoral dari nafs. Nafs tanpa henti-hentinya mendorong pemuasan nafsunya, melebihi batas yang diperbolehkan. Akan tetapi, karena tidak pernah terpuaskan dan cepat merasa bosan, ia selalu berpindah dari satu kepuasan ke kepuasan lainnya tanpa akhir. Ia menjadi sebuah mesin hasrat (desiring machine) yang secara terus-menerus mencari obyek kepuasan (desiring objects) yang baru.
(5) Keinginan nafs untuk selalu mencari saluran-saluran hasrat yang tak berhingga, dalam wacana kapitalisme justru disalurkan lewat mekanisme .kebosanan terencana. (planned obsolescence).  Di samping bersifat amoral, nafs juga bersifat .anti sosial., oleh karena dalam rangka memuaskan dorongan hasratnya, nafs mengabaikan semua aturan dan kebiasaan sosial. Sifat anti-sosial inilah yang mendorong hasrat untuk mencari fantasi-fantasi pemenuhan hasrat yang menyimpang dari norma sosial, atau dalam terminologi psikoanalisis disebut sebagai kecenderungan ke arah .abnormalitas. (abnormality). Ia ingin selalu .melampaui. normalitas.  Dilihat dari kacamata spiritualitas, maka jelas, hasrat menjadi penghalang perkembangan jalan thariqat dan proses kesempurnaan nafs. Jalan spiritualitas ini akan makin tertutup, bila hasrat dibiarkan berkembang ke arah titik ekstrem sebuah titik di mana dorongan hasrat melebihi batas-batas yang dibolehkan, yang mendorong tindakan-tindakan buruk. Sebagaimana yang akan dijelaskan, justru sifat-sifat esktrem inilah hypes, extreme, obesity, promiscuity yang jadi ciri khas masyarakat posmodern.  Meskipun cenderung membawa sifat-sifat rendah, namun dalam terminologi sufisme, hasrat rendah nafs tersebut bukan untuk dilenyapkan. Ia hanya perlu dikendalikan, dimurnikan atau dibersihkan dari sifat rendah materi, sehingga mencapai tingkat nafs yang lebih tinggi, yaitu nafs yang tenang (an-nafs al-muthma.innah), yang dapat membawa hasrat menjauh dari kesenangan materi dan hewani, menuju kedekatan dengan tempat Yang Maha Kuasa.

Posmodernisme Sebagai Wacana Pembebasan Mesin Hasrat  
Posmodernisme adalah sebuah wacana, yang di dalamnya diciptakan ruang-ruang bagi pembebasan hasrat manusia dari berbagai katupnya: pembebasan energi libido seksual dari kungkungan, Freud; pembebasan energi kehendak berkuasa dari kungkungan, Marx; pembebasan tanda dari kungkungan semiotika, Saussure; pembebasan energi kedangkalan dari kungkungan, Modernisme; pembebasan tubuh dari kungkungan moralitas.  Posmodernisme merupakan sebuah wacana yang di dalamnya terbentuk saluran bebas hasrat, di mana berbagai bentuk hasrat dengan bebas menemukan kanal-kanal pelepasannya: lewat kanal ekonomi, yang menciptkan ekonomi libido. (libidonomics); lewat kanal politik, yang menciptakan politik hasrat.; lewat kanal komunikasi, yang menciptakan ekstasi komunikasi; lewat kanal media, yang menciptakan .ketelanjangan media.  Posmodernisme adalah sebuah wacana yang digerakkan berbagai bentuk hasrat. Dalam Lacan, Discourse and Social Change, Jacques Lacan mengemukakan bahwa hasrat merupakan sebuah mekanisme utama pengubah sosial, sebuah mekanisme utama penggerak kebudayaan, yang energi utamanya adalah .libido.. Hasratlah yang membuat sebuah kebudayaan tak pernah diam, yang membuat setiap orang merasa tak puas dengan apa yang telah dimiliki, yang mendorong orang untuk mencari hal-hal baru. Oleh sebab itu, hasrat dapat bersifat positif (membangun) maupun negatif (merusak). Meskipun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, berdasarkan pandangan Lacan, setidak-tidaknya ada dua bentuk utama hasrat, yang juga beroperasi dalam masyarakat posmodern. Pertama, hasrat .menjadi. (to be), yaitu hasrat menjadi obyek cinta ---kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan--- sang lain (the others). Orang merasa menjadi obyek cinta sang lain (penonton, fans, rakyat), oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra (image) dirinya sedemikian rupa agar ia tetap dicintai ---narcissistic desire. Inilah, misalnya, orang-orang yang memperlihatkan eksistensi dirinya lewat tanda-tanda dan gaya hidup: mobil mewah, rumah megah, fashion eksklusif, parfum mahal, dsb.  Kedua, .hasrat memiliki. (to have), yaitu hasrat memiliki sang lain (materi, benda, orang, kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri ---anaclictic desire. .Hasrat memiliki. merupakan fondasi masyarakat posmodern, yang dilembagakan lewat sistem kapitalisme global. Di dalamnya, orang dikonstruksi secara sosial untuk .mengingingkan. iringan-iringan benda yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini kapitalisme global merubah keinginan (want) menjadi kebutuhan (need). Artinya, kebutuhan tersebut diciptakan.. Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga memproduksi kebutuhan. dan dorongan hasrat di baliknya, untuk keberlanjutan produksi ---inilah wacana libidonomics.  Dilema hasrat adalah, bahwa ia dapat menggerakkan kebudayaan menuju kondisi yang lebih baik (positive desire) ---kemajuan, kesejahteraan, kenyamanan, akan tetapi dapat juga menuju kondisi yang lebih buruk dan merusak (negative desire) ---kerakusan, hedonisme, ketidakpedulian. Dalam masyarakat posmodern, kedua energi hasrat ini ---energi negatif maupun positif--- diberi ruang yang sama untuk hidup. Sehingga, berbagai dualisme konsep hasrat di dalamnya (negatif/positif, baik/buruk, moral/amoral) yang selama ini dipertentangkan, kini dibuat .mengambang., setelah berbagai batasnya didekonstruksi atau dicairkan. Ketiadaan batas yang jelas inilah yang menyebabkan wacana posmodern penuh dengan perangkap-perangkap ketidakpastian (indeterminasi), ketidakjelasan, dan kemenduaan hasrat ---paradoks hasrat--- yang semuanya jadi tantangan besar bagi wacana sufisme.





BAGIAN III
KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inti ajaran-ajaran sufisme adalah pengendalian mesin-mesin hasrat yang memproduksi berbagai bentuk hasrat tak terbatas pada diri setiap orang yang dikuasainya. Akan tetapi, sebagaimana yang dapat dijelaskan nanti, apa yang ingin dikendalikan oleh wacana sufisme, justru itulah yang ingin dibebaskan oleh wacana posmodernisme. Posmodernisme merupakan sebuah wacana pembebasan hasrat dari berbagai belenggu, benteng, atau tembok tinggi yang selama ini menghalangi, termasuk belenggu Tuhan ---the liberation of desire.