Imunitas Negara pada Private acts

Imunitas Negara adalah pemberian perlindungan hukum oleh suatu negara kepada tindakan pemerintah/goverment acts dan tindakan perusahaan secara privat/privat acts di negara lain.
 
State Responsibility adalah prinsip dalam hukum internasional yang mengatur mengenai timbulnya  pertanggung jawaban suatu negara kepada negara  lainnya yang telah dikodifikasi dan diadopsi oleh  International Law Commision dalam ILC Draft  Articles on State Responsibility, ILC’s 53 rd Session, Jenewa, 2001

·               Pemikiran Lawrence Oppenheim
Sering dikatakan bahwa negara, sebagai subyek yang berdaulat,  tidak  dapat dibebani  pertanggungjawaban.  Pandangan ini hanya benar apabila dikaitkan dengan tindakan-tindakan negara terhadap warganya Posisi ini berbeda dalam hubungan suatu negara dengan negara lain. Dalam hal ini negara berkedudukan sebagai subyek hukum internasional (International Person),  dan memiliki pertanggungjawaban yang  melekat pada dirinya. Pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban dalam arti hukum.  Oppenheim membedakan dua macam Responsibility, ‘original’ dan ‘vicarious’. Original responsibility dipikul oleh negara, atas tindakan pemerintahnya, atau karena tindakan pegawai pemerintah, atau atas tindakan individu yang  dijalankan lewat  instruksi pemerintah, atau otorisasinya. ‘Vicarious liability’ adalah pertanggungjawaban negara atas tindakan yang dilakukan bukan oleh aparat negara.
Menurut Oppenheim, suatu tindakan negara yang merugikan negara lain adalah bukan pelanggaran hukum internasional (international delinquency) apabila dilakukan tidak karena kesengajaan (willfully and maliciously) atau
karena kelalaian (culpa).

·               Aturan Tradisional Tentang State Responsibility
Aturan lama tentang State Responsibility terdiri dari terutama, aturan hukum kebiasaan internasional yang berkembang dari praktek negara-negara (state practice) dan kasus-kasus dalam pengadilan internasional (international tribunal). Hanya sedikit peraturan yang diambil dari  traktat (treaty rules) yang ada, yang paling terkenal adalah Pasal 3 Konvensi Jenewa Keempat tahun 1907 mengenai  Laws and Customs of War on Land yang menyatakan bahwa ‘A Belligerent party which violates the provisions of the said Regulations, shall if the case demands, be liable to pay  compensation. It shall be responsible for all acts committed by persons forming part of its armed forces’. Menurut hukum kebiasaan internasional, apabila negara melanggar kewajiban yang terdapat dalam aturan internasional, negara tersebut melahirkan kebiasaan internasional. Sebagai konsekuensi, negara harus membayar ganti rugi atas pelanggarannya, atau sebagai alternatif, negara yang dirugikan dibolehkan melakukan pembalasan (self-help). Juga, negara diperbolehkan melakukan tindakan kekerasan (forcible action) seperti perang atau pembalasan bersenjata (retaliation) atau juga tindakan non-kekerasan (non-forcible actions) seperti sanksi ekonomi atau pengakhiran traktat.

·               Syarat Timbulnya Pertanggungjawaban Negara
Menurut ILC Draft Articles on State Responsibility Prekondisi bagi timbulnya State responsibility adalah adanya tindakan salah (wrongful act) oleh negara. Agar wrongful act ini timbul, harus dibuktikan kedua elemennya, yakni elemen subyektif dan obyektif. Elemen subyektif adalah imputabilitas kepada negara tindakan dari individu  (baik oleh kelalaian atau tindakan) yang bertentangan terhadap hukum internasional. Sementara elemen obyektif adalah (i) inkonsistensi dari tindakan tersebut terhadap hukum internasional (ii) mengakibatkan kerusakan moril maupun materiil terhadap subyek internasional lainnya (iii) tiadanya keadaan-keadaan tertentu yang mengecualikan kesalahan (circumstances precluding wrongfulness) .

·               Konsep Atributabilitas
Negara bertindak pada level internasional lewat individu. Sehingga, agar negara dapat dianggap bertanggungjawab maka harus dapat dibuktikan bahwa tindakan individu dapat diimputasi kepada negara. Untuk tujuan imputasi kepada negara, pada umumnya harus dapat dibuktikan bahwa individu yang melakukan pelanggaran memiliki status pejabat negara dibawah sistem hukum nasionalnya, baik pemerintahan pusat (termasuk legislatif dan yudisial) atau unit teritorialnya pada misalnya, negara federal seperti Amerika Serikat.

Supaya suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai internationally wrongful act, maka harus dapat diatribusikan kepada negara dan harus dimungkinkan bahwa baik tindakan (action) atau kealpaan (omission) yang dipertanyakan dapat di pertimbangkan sebagai "act of the State".
Negara adalah suatu kesatuan terorganisir yang nyata, tetapi untuk mengenali realitas ini, juga harus dicatat bahwa Negara tidak mampu melakukan tindakan fisik. Oleh karena itu, yang dianggap "act of the State" hanya dapat berupa tindakan fisik baik lewat tindakan (action) atau kealpaan (omission) oleh manusia atau sekelompok manusia.
Tidak ada satupun aktivitas negara yang dapat dianggap sebagai “dirinya sendiri”, baik dalam hukum nasional maupun internasional. Karena sifat alami negara tersebut, atribusi dari perilaku negara bersifat normatif. Harus juga ditekankan bahwa Negara, yang mana tindakan khususnya tersebut diatribusikan adalah negara dilihat sebagai subyek dari hukum dan bukan negara dilihat sebagai sistem hukum atau sistem norma.
Menurut ILC, membicarakan atribusi kepada negara sebagai subyek hukum adalah membicarakan negara sebagai subyek hukum internasional, bukan hukum nasional. Atribusi daripada tindakan tersebut kepada negara dengan tujuan membuktikan keberadaan tindakan salah (internationally wrongful act) oleh negara tersebut hanya dapat dilakukan menurut aturan hukum internasional, proses melekatkan tindakan (action) atau kealpaan (omission) kepada subyek hukum internasional dengan tujuan untuk menarik kesimpulan darinya dalam area hubungan hukum internasional tidak dapat dilakukan dalam kerangka lain selain hukum internasional itu sendiri.

Draft pasal 5 menentukan bahwa tindakan organ yang dibawah hukum nasional suatu negara merupakan organ dari negara tersebut dianggap sebagai tindakan negara tersebut. Apabila hukum negara tersebut sendiri menentukan bahwa organ termaksud adalah organ dari negara, maka hukum internasional dapat mengambil posisi yang sama. Namun sebaliknya, apabila hukum nasional dari negara tidak memperlakukan suatu organ sebagai bagian dari negara, tidak secara otomatis mengikuti bahwa tindakan organ tersebut tidak bisa diatribusikan kepada negara.
Hukum nasional tidak memiliki efek menentukan dalam konteks ini: atribusi adalah permasalahan hukum internasional. United Kingdom juga mengobservasi bahwa prinsip-prinsipo yang dikembangkan  dalam konteks imunitas negara tidak secara langsung dapat diaplikasikan dalam konteks State responsibility.

Pada prinsipnya, negara tidak bertanggungjawab atas tindakan individu, kecuali mereka pada faktanya bertindak atas nama negara atau melaksanakan elemen otoritas pemerintahan pada saat absennya pejabat pemerintahan. Namun, tindakan individu ini juga dapat dibarengi dengan beberapa action atau omission yang dapat diatribusikan pada negara. Menurut Akehurst, tindakan (act) atau kealpaan (omisssion)nya dapat berupa 6 bentuk, yakni
(1) memprovoksai individu untuk menyerang warga asing,
(2) gagal untuk menyediakan reasonable care (due diligence)
      untuk mencegah individu membahayakan warga asing,
(3) kegagalan nyata untuk menghukum individu,
(4) kegagalan untuk memberikan akses peradilan bagi warga negara                                            asing (denial of justice),
(5) memiliki keuntungan atas tindakan
      individu (misalnya menyimpan barang jarahan individu),
(6) mengafirmasi dan mendukung tindakan individu secara nyata.

·               Sumbangan Pemikiran Dionisio Anzilotti mengenai konsep Atributabilitas
Anzilotti menganalisa persyaratan untuk mengatribusikan tindakan salah (wrongful act) kepada negara. Dalam hal ini ia mengisolir hukum internasional sebagai entitas otonom dalam hubungannya dengan hukum nasional.
Secara umum, tindakan-tindakan individu (individual action, seperti mencuri, merusak, membunuh atau tindakan-tindakan lainnya) adalah satu hal tersendiri dan kewajiban internasional (international obligation, misalnya kewajiban “due diligence” untuk melindungi warga asing) dari negara dimana individu tersebut diatas melakukan tindakannya adalah hal lain. Dalam sistem hukum internasional, pertanggungjawaban negara hanya akan dilibatkan apabila tindakan individu tersebut mengakibatkan negara melanggar norma hukum internasional.





Salah satu contoh adalah Bank Indonesia sebagai milik pemerintah/state-interprices dan Bank-bank umum lainnya yang merupakan milik swasta/private-interprices.
Tugas dan wewenang Bank Indonesia tidak akan dapat optimal dan maksimal dijalankan oleh Bank Indonesia, jika pemerintah mengesampingkan prinsip pembedaan mendasar antara Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dengan bank umum sebagai badan hukum privat. Sebagai konsekuensi logis dari adanya pembedaan tersebut, proses penanaman modal tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang antara pemerintah dan DPR dalam rangka mewujudkan Bank Indonesia yang kuat dalam menjalankan fungsinya. Dalam proses penanaman modal tersebut, pemerintah menyatakan persetujuannya untuk melakukan kewajiban yang tertera dalam Pasal 6 UU BI tersebut. Dengan ketentuan jika modal Bank Indonesia berkurang, ada penegasan pemerintah harus segera menutup kekurangan tersebut sesuai dengan jumlah kekurangan yang ada, setelah mendapatkan persetujuan DPR. Dibebankannya tanggung jawab pemenuhan modal Bank Indonesia dan penutupan kekurangan modal Bank Indonesia kepada pemerintah disebabkan kewenangan pengelolaan keuangan negara berada pada pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Oleh sebab kewenangan itulah, tindakan menutup kekurangan modal Bank Indonesia maupun menerima kelebihan surplus kegiatan Bank Indonesia harus dipandang sebagai bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, kewenangan itu berada pada lingkup kewenangan publik serta diambil berdasarkan pertimbangan agar pemenuhan kecukupan dana modal Bank Indonesia dari kewajiban moneter tetap tercapai. Oleh sebab itu, menjadi sangat jelas pemenuhan kecukupan modal Bank Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai representasi negara agar mewujudkan Bank Indonesia yang kuat. Dengan mendasarkan pada pentingnya kekuatan kecukupan dana tersebut, pemerintah dan DPR menyepakati surplus hasil kegiatan Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 62 ayat (4) UU BI 2 . Penetapan tidak kena pajak terhadap surplus Bank Indonesia selain merupakan salah satu bentuk kebijakan jaminan pemerintah dan DPR sebagai garansi politik (political guarantee) agar Bank Indonesia dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik. Hal ini secara integral merupakan fungsi dan tanggung jawab pemerintah dan DPR dalam menjamin integritas Bank Indonesia dalam menjaga perekonomian nasional. Bank Indonesia sebagai Badan Hukum Publik.
Dalam tatanan hukum saat ini, terdapat dua jenis badan hukum, ditinjau dari sudut hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai subyek hukum, yaitu badan hukum publik dan badan hukum perdata. Badan hukum publik dalam melakukan haknya mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan publik yang dapat mengikat umum. Sementara itu, badan hukum perdata tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan seperti itu. Meski tidak dinyatakan atau tidak ada aturan tertulisnya, negara dikatagorikan sebagai badan hukum publik dengan mensandarkan pada konstitusi.
Sebagai badan hukum publik secara derivatif, negara dapat mendirikan badan hukum publik lain  maupun badan hukum perdata.
UU BI, sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan dalam Pasal 23D UUD 1945, menetapkan Bank Indonesia sebagai badan hukum (publik) (Pasal 4 ayat (3)). Dalam hal ini, negara melalui konstitusi memberikan dasar bagi pembentukan badan hukum publik yang mempunyai kewenangan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan.
3
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam
Perspektif Hukum (Jakaerta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonsia, 2005), hal. 128.

Secara prinsip UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak membedakan status hukum kekayaan/keuangan dalam suatu badan hukum, apakah itu milik negara, milik daerah, milik badan usaha milik negara, milik badan usaha milik daerah, atau milik swasta atau perseorangan. Pada dasarnya, Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 menyalahi doktrin badan hukum dalam arsitektur keuangan publik yang tegas membedakan kekayaan/keuangan milik setiap badan hukum yang terpisah. Dalam perspektif hukum, keuangan/kepunyaan negara adalah yang ditentukan sebagai milik negara dan disediakan (oleh negara) untuk dipakai kepentingan pelayanan publik fungsi pemerintahan dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik. Namun, negara sebagai badan hukum publik dapat berkedudukan sebagai hukum privat yang tunduk pada ketentuan hukum perdata. Hal ini terjadi pada
saat negara memiliki sahamnya di suatu perusahaan, khususnya dalam badan usaha milik negara. Dalam perusahaan tersebut, negara berkedudukan sama dengan pemilik saham lainnya, dan tidak dapat mengeluarkan kebijakan yang bersifat publik dalam perusahaan tersebut. Dengan demikian, hukum telah menentukan pembedaan kedudukan negara sebagai badan hukum publik yang tunduk pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik dan negara sebagai badan hukum privat yang tunduk pada ketentuan hukum privat. Negara tidak memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan wewenang yang bersifat publik dalam pengelolaan perusahaan negara yang tata kelola dan tata tanggung jawabnya tunduk pada ketentuan privat. Pembedaan ini merupakan konsep hukum modern yang sangat membedakan imunitas publik dan imunitas privat dengan maksud menjelaskan batas – batas keuangan/kekayaan yang dimiliki setiap badan hukum.
Contoh konkret adanya pembedaan yang tegas dalam arsitektur keuangan publik adalah dalam pendirian perseroan terbatas, pemerintah tidak dapat bertindak menggunakan kekuasaan dan kewenangan publiknya untuk mengatur dan mengelola perseroan. Hal demikian disebabkan keikutsertaan pemerintah dalam perseroan bertindak sebagai badan hukum privat, sehingga tanggung jawab dalam pengelolaannya pun tidak dapat dibebankan pada pemerintah sebagai badan hukum publik. Misalnya, beban pertanggungjawaban perseroan yang sahamnya antara lain dimiliki negara, yang
menyebabkan kerugian pada pihak lain tidak dapat dibebankan kepada pemerintah sebagai badan hukum publik. Akan tetapi, dibebankan kepada perseroan untuk menjalankan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan: "Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut." Apabila tanggung jawab untuk mengganti rugi tersebut dibebankan kepada pemerintah sebagai badan hukum publik dikhawatirkan pelayanan publik dalam menjalankan fungsi pemerintahan akan terganggu. Demikian pula apabila pembedaan kedudukan hukum (recht positie) pemerintah dalam perseroan terbatas tidak dilakukan, selain kemandirian perseroan terbatas sebagai salah satu unsur good corporate governance tidak terpenuhi, intervensi pemerintah sebagai badan hukum publik dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan campur tangan pemerintah yang terlalu dalam dan kepentingan pemerintah sebagai penguasa cenderung akan mengabaikan pemegang saham lain, kreditor, dan pihak lain yang terkait serta kepentingan perseroan itu sendiri.