HAK-HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT SEMENTARA


Ketentuan Umum.
Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam pasal 53 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat semetara, dalam waktu yang singkat, diusahakan akan dihapus karma mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat-sifat pemerasan.

Macam-macam Hak Atas Tanah yang bersifat Sementara secara berurutan macam-macam hak atas tanah ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Hak Gadai (Gadai tanah)

Pengertian Hak Gadai (Gadai Tanah).
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud denagn Hak Gadai (Gadai Tanah). Untuk memperoleh pemahaman tentangpengertian Gadai Tanah, berikut ini dikemukakan pendapat Boedi Harsono, Gadai tanah adalah hubungan hukum seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, Pengembalian uang gadai  atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada kemauan dan kepampuan pemilik tanah yang yang menggadaikan, banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan.

Para pihak dalam Hak Gadai (Gadai Tanah).
Dalam hal Gadai (Gadai Tanah) terdapat dua pihak, yaitu pihak pemilik tanah pertanian tersebut pemberi gadai dan pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi gadai disebut penerima (pemegang) gadai. Pada umunya, pemberi gadai berasal dari golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, Sebaliknya penerima (pemegang) gadai berasal dari golongan masyarakat yang mampu (kaya).

Terjadinya Hak Gadai (Gadai Tanah).
Hak Gadai (Gadai Tanah) pertanian bagi masyarakat Indonesia khususnya  petani bukanlah hal yang baru. Semula  lembaga ini diatur/tunduk pada hukum adat tentang tanah dan pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem dan cara berfikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Hak gadai (Gadai Tanah) dalam hukum adapt harus dilakukan dihadapan kepala desa/kepala adapt selaku kepala masyarakat. Hukum adapt mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengatur perbuatan -perbuatan hukum mengenai tanah yang terjadi dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Dalam praktiknya, Hak gadai (Gadai Tanah) pada umumnya dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Hak Gadai (Gadai Tanah) hanya dilakukan oleh pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai, dan dilakukan tidak tertulis.

Perbedaan Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai dalam Hukum Perdata Barat.
Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan. Objek Hak Gadai (Gadai Tanah) adalah tanah, sedangkan objek perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan utang adalah uang. Hak Gadai (Gadai Tanah) menurut hukum adapt merupakan  perjanjian pokok yang berdiri sendiri, yang dapat disamakan dengan jual lepas (adol plas) atau jual tahunan (adol tahunan) . jadi tidak merupakan perjanjian tambahan sebagaimana halnya gadai dalam pengertian Hukum Perdata Barat. Perbedaan antara Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai menurut Hukum Perdata Barat, adalah pada Hak Gadai (Gadai Tanah) terdapat satu perbuatan hukum yang berupa perjanjian penggarapan tanah pertanian oleh orang yang memberikan uang gadai, sedangkan Gadai menurut Hukum Perdata Barat terdapat dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian pinjam-meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan benda bergerak sebagai jaminan, sebagai perjanjian ikutan.

Jangka Waktu Hak Gadai Tanah (Gadai Tanah).
Jangka waktu Hak Gadai (Gadai Tanah) dalam praktiknya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hak Gadai (Gadai Tanah) yang lamanya tidak ditentukan
Dalam hal Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak ditentukan lamanya, maka      pemilik tanah pertanian tidak boleh melekukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya sekarang digadai, 1 atau 2 bulan kemudian ditebus. Penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai minimal telah melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karma Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam uang.
2. Gadai Tanah yang lamanya ditentukan      
Dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) ini, pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) berakhir. Kalau jangka waktu tersebut sudah berakhir dan pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bias menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut. Apabila batas waktu yang telah ditentukan pemilik tanah tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap tetap memaksa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat menggugat pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengizinkan menjual tanah yang digadaikan.

Ciri-ciri Hak Gadai (Gadai Tanah).
Hak Gadai (Gadai Tanah) menurut hukum adapt mengandung cirri-ciri sebagai berikut :
  1. Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa.
  2. Pemgang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya.
  3. Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus.
  4. Tanah yang digadaikan tidak bias secara otomatis menjadi milik pemegang gadai bila tidak ditebus.

Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan cirri-ciri Hak Gadai (Gadai Tanah), adalah sebagai berikut :
  1. Hak Gadai (Gadai Tanah) jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu akan hapus. Hak Gadai (Gadai Tanah) berakhir kalau dilakukan penebusan oleh yang menggadaikan. Penebusan kembali tanah yang digadaikan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemiliknya, artinya ia tidak dapat dipaksa untuk menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak hilang karena lampaunya waktu atau meninggalnya si pemilik tanah. Jika pemilik tanah meninggal dunia hak untuk untuk menebus beralih kepada ahli warisnya;
  2. Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. Jika pemegang gadai meninggal dunia, maka hak tersebut berpindah kepada ahli warisnya;
  3. Hak Gadai (Gadai Tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah yang lain. Pemegang gadai berwenang untuk menyewakan atau membagihasilkan tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain itu bias pihak ketiga, tetapi bias juga pemilik tanah sendiri. Pemegang gadai bahkan berwenang juga untuk menggadaikan tanahnya itu kepada pihak ketiga tanpa perlu meminta izin atau memberitahukannya kepada pemilik tanah (menganakgadaikan atau Onderverpanden). Perbuatan ini  tidak mengakibatkan terputusnya hubungan gadai dengan pemilik tanah. Dengan demilian, tanah yang bersangkutan terikat pada hubungan gadai;
  4.  Hak Gadai (Gadai Tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat “dialihkan”kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru  antara pemilik dan pihak ketiga itu (memindahkan gadai atau doorverpanden) ;
  5. Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya dialihkan kepada pihak lain;
  6. Selama Hak Gadai (Gadai Tanah)nya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah (mendalami gadai);
  7. Sebagai lembaga, Hak Gadai (Gadai Tanah) pada waktunya akan dihapus.

Sifat pemerasan dalam Hak Gadai (Gadai Tanah).
Hak Gadai (Gadai Tanah) di samping mempunyai unsure tolong menolong, namun juga mengandung sifat pemerasan karena selama pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, tanahnya tetap dikuasai oleh pemegang gadai.